Puisi-puisi Pilo Poly
Pilo Poly adalah nama pena dari Saifullah S. Lahir di Bandar Baru, Pidie Jaya, Aceh pada 16 Agustus 1987. Buku Puisinya adalah Yusin dan Tenggelamnya Keadilan (2014), Sehelai Daun yang Merindukan Ranting (2016). Buku Puisi ketiganya, ARAKUNDOE (2019). Kini, dia berkhitmad di Komunitas Sastra Indonesia (KSI).
Tak Pernah Berbatas
buat Ucok
Aku digigit mimpi, terluka dan begitu
berdarah. Persis air laut yang membawa
ingatanmu. Membawanya bersama penuh
kehilangan dan keterasingan. Saat kau pulang,
kau telah melupakan dirimu yang penuh
gelora Teuku Umar.
Di jalanan, kutemukan kata-kata berserak,
penuh dengan lumpur dari laut. Kau ingin
memungutnya, tapi kukatakan tidak, sebab
kutahu betapa jarak sudah gempa dan gelombang
telah membawamu hanyut.
Kau kerap berteriak, ibu, ibu dan ibu
di setiap matamu bersinar seperti rembulan.
Tapi kau sendiri tak pernah selamat dari
ingatanmu. Aku sering bertanya, kemana
ingatanmu pergi. Dan selalu saja jawabanmu
adalah; takdir telah mencurinya darimu.
“Rumahku hancur, hatiku luka, dan ibu
jadi syuhada,” katamu, hampir seperti
menjerit dan setengah tertawa.
Aku tahu itu adalah kenangan yang begitu
Subur dalam dadamu; ibu terlepas, dan
Keponakan tak mampu kau selamatkan.
Saat tsunami, matamu berkelayap
mencari-cari Tuhan sedang di mana.
Jakarta, 2019
Diombang-ambing Laut
buat Susan
Sebab hujan cintamu tak pernah sampai
pada kemarau dadaku, kutinggalkan
tanah perjalanan ini sebagai kekal
yang tak akan dilumat kenangan.
Kulepas pula kau di kolam tenang
dalam dada ini. Agar kau mampu
menerjemahkan betapa dinginnya
tubuhku menanti kau kembali jadi
dini pagi.
Tubuhku, yang hanya dihempas angin
gelombang, tentu tak seluka jiwamu
yang hingga kini tak mampu kembali,
dan kemudian membersihkan lumpur
berbagai peristiwa yang tumbuh
dalam tubuhmu.
Saban malam, kurekahkan doa dan harap ini,
meskipun kutahu tak mungkin laut membawa
tubuhmu ke darat lagi. Tak mungkin laut
mau meludahmu lagi. Takdir, kataku,
telah menyelesaikan tugasnya. Sedang
kita, baru saja memulai sebuah cerita.
Jakarta, 2019
Tugu Muda
Bibir laut. Hampir menjilat rel
arah Weleri. Memaksa tanah
pertanian dan hutan pinus
merapat kepada sunyi. Batang-
batang pisang, dan bibit-bibit
jagung, berpendar cahaya
kuning debu: persis hujan pipih
dan rel yang kumal dihantam
air dari rawa.
Jika saja tak ada tubuhmu,
Cikampek, dan tegar dadamu
Jawa Barat, mungkin aku tidak
tahu apakah akan sampai ke
lubuk Semarang. Kemudian
menampung banyak gemerlap
lampu dan membelai berbagai
pariwisata yang begitu kuat
dipasak sejarah.
Di kota ini. Tugu muda tegak
menghadap Lawang Sewu, dan
menjadi tempat bagi orang-orang
melepaskan diri dari berbagai
dokumen kantor dalam kepala,
yang seperti berteriak tak ada habisnya.
Di Hans Kopi, aku duduk saat
malam menjatuhkan puluhan senja
yang sudah pudar dari jam delapan
tadi lewat. Sedang besok sudah menunggu.
Waktu begitu cepat, bukan?
Semarang, 2019